Sabtu, 18 Juni 2011

masa lalu

bought a book tenses, then copy them into notebooks, one by one, along with all the examples. Writing in blank book loh, and not for sale, of course. Time to write it, tenses lesson is absorbed. It takes no more than 16 days.

Imagine by other methods (I dont know the which one) which takes more than 10 years (4 years in SD, 3 years in SMP and 3 years in SMA) and many are still confused.

Other than, I often use internet to looking or meet a orang asing.

kangen ngeblog

Generasi Uforia
Mereka larut dalam kegembiraan
Tak pedulikan kesengsaraan
Meninggikan harga diri kesenangan
Melupakan jati diri ketimuran

Sebelum terlambat,.......... kembali
Sebelum jatuh, ................. sadari
Saat kau ingat,................... jadikan cemeti
Sekarang ........................... raihlah jati diri

Berlari kejarlah bintang
Bangkitlah demi negeri terang
Saatnya kau menang
Mengabdi untuk pertiwi terkenang

Bertutur dengan lamah lembut
Pastilah orang akan turut
Tanpa ada rasa takut

Sabtu, 12 Februari 2011

Undang-Undang Badan Hukum Pendidikan

Minggu, 29 Maret 2010, kala mega berubah gelap dan gemintang enggan untuk bersinar, di bawahnya, aku tersentak oleh sebait pesan singkat di HP ku, yang memberitakan bahwa UU No 9 tahun 2009 tentang Badan Hukum Pendidikan akan segera diputus Judicial Reviewnya rabu pekan depan, tepat di hari terakhir bulan ini, harapan terakhir perjuangan kontra BHP akan mencapai panggung akhir perjalanannya. Anganku melayang pada sekelumit kisah tentang UU itu dan segala implikasinya bila Judicial Review ditolak dan ia tetap menjadi undang-undang di tanah air kita ini. Apa jadinya nanti negeriku, ketika pendidikan dialihkan ke ranah hukum privat, yang oleh montesqieue dalam bukunya “The spirit of The Law” disebut sebagai hukum yang berorientasi pada pencarian kekayaan? Apa jadinya nanti, kala deregulasi ini melapangkan jalan terjadinya privatisasi di sebuah sektor yang seharusnya bersih dari persaingan, satu-satunya instrumen yang secara struktural mampu menekan harga? Apakah nanti yang tersisa bagi rakyat negeriku yang tiada berpunya? Mungkinkah hanya tinggal pendidikan berkualitas rendah di gedung-gedung yang hampir roboh serta seonggok harapan kosong. Bagaimana nanti ketika ruang publik adi luhung ini yang seharusnya berfungsi sebagai sarana enkulturisasi insan masa depan bangsa harus luruh oleh diskriminasi sekelompok oligarkis kemaruk yang dengan bersenjatakan UU ini menjadi pemilik sah atas pendidikan?

Undang-undang ini tidak boleh hadir lagi di muka bumi persada kita. Ya, kita, siapapun dirimu yang membaca tulisan ini, bila kau pernah merasa iba pada anak-anak jalanan yang berlari bertelanjang kaki demi sesuap nasi di saat mereka seharusnya bisa ada di bangku sekolah, ketahuilah, kau dan juga aku hanya sekedar lebih beruntung telah ditempatkan oleh-Nya di tempat kita alih-alih mereka, maka berjuanglah untuk mereka sebagai wujud syukur. Bila kau pernah mengajar sebagian dari mereka di rumah belajar, rumah singgah atau apapun namanya itu, ketahuilah bahwa anak-anakmu layak mendapatkan tempat yang lebih baik. Bila kau adalah cleaning service-cleaning service luar biasa yang kujumpai di kampusku UI dan kau merasa bahwa upahmu tidak layak, ketahuilah BHP hanya akan memperburuk hal itu dengan alasan efisiensi ala ekonomi pasar. Bila anda seorang guru, dosen, siswa, mahasiswa, supir angkot, tukang bubur, pilot, dokter, insinyur atau apapun, selama anda adalah insan yang tulus memiliki hati untuk bangsa indonesia, terimalah ajakan ini, DARI LUBUK HATI YANG TERDALAM, MARI BERJUANG SETULUS-TULUSNYA DENGAN MEDIA DAN CARA KITA MASING-MASING, MENYERU PADA MAHKAMAH KONSTITUSI AGAR MENGABULKAN JUDICIAL REVIEW UU BHP SECARA KESELURUHAN, DALAM PUTUSANNYA RABU 31 MARET ESOK. JANGAN BERHENTI ATAU PENDIDIKAN YANG BERHATI AKAN MATI, JANGAN BERHENTI HINGGA TITIK DARAH TERAKHIR KITA, HIDUP PENDIDIKAN INDONESIA!

Membangun Masa Depan Indonesia Berbasis Moral

          Pendidikan dewasa ini, disadari atau tidak mengalami distorsi yang sangat mengkhawatirkan. Di satu sisi kita telah membuat kurikulum yang menurut pemikiran kita sangat diharapkan memiliki kehandalan dalam peningkatan intelektualitas, namun di sisi lain perilaku anak didik kita pada umumnya mengalami hal yang tidak menggembirakan.

           Di hadapan kita seringkali tersaji realitas, banyak tindakan kriminalitas seperti penyalahgunaan obat-obat terlarang, kejahatan seksual, pencurian dan lain-lain, justru dilakukan oleh mereka yang berstatus sebagai pelajar. 

          Tulisan ini tidak bermaksud menghakimi salah satu pihak maupun bersandandar pada pesimistis kita ( khususnya mereka yang secara langsung berkiprah dalam dunia pendidikan ). Namun saya mencoba merefleksikan hasil perenungan saya selama ini dalam hal melihat sebuah fakta bahwa secara moralitas kita mengalami kegagalan di dalam mendidik anak-anak kita.

           Kita melihat pendidikan agama, misalnya, yang diajarkan di sekolah nampaknya belum dapat menyentuh titik sentral dari moral siswa. Sebab, pendidikan agama yang diajarkan kepada mereka sebatas pada nilai-angka, baik berupa hafalan ayat, sejarah dan sebagainya. Selayaknya kita berorientasi pada ajaran-ajaran yang bersifat akhlak dan budi pekerti ( yang kita kenal dengan nilai-nilai agama itu sendiri ).

           Contoh lain, tehadap mata pelajaran PPKn, seringkali siswa hanya diajarkan tentang pasal-pasal dalam Tap MPR. Mengapa kita tidak menyentuh mereka dengan apa yang mestinya kita perbuat sebagai warga negara yang baik, bermartabat dan berbudaya ?

           Sesungguhnya, kita belum terlambat untuk sesegera mungkin memutar haluan kapal kita, untuk menambal segala macam kekurangan yang ada di dalam sistem pendidikan kita. 

Ada tiga hal pokok, menurut hemat saya yang harus segera diperbaiki, anatara lain :

a. Tinjau kembali pola pengajaran dari semua mata pelajaran yang memiliki hubungan langsung maupun tidak langsung terhadap moralitas anak-didik kita,

b. Tinjau kembali metodologi pengajaran kita, dari guru yang hanya bercerita, berceramah menjadi guru yang mengedepankan dialogis ( khususnya di dalam memecahkan permasalahan moralitas anak didik )

c. Tinjau kembali perilaku sebagian guru kita, yang sesungguhnya mereka sebagai agen perubahan ( termasuk contoh moralitasnya ), sehingga anak-didik memiliki kebanggaan ( dalam tanda petik ) terhadap gurunya. Bukankah guru adalah di-gugu dan di-tiru ? - maksudnya dalam perilaku positif.

d. Aktifkan anak-didik kita dalam kegiatan keagamanaan di sekolah, berikan waktu khusus kepada mereka di dalam mengembangkan nilai-nilai moral agama yang dianutnya.

Akhirnya, semoga tulisan singkat ini menjadi bahan renungan kita yang sangat peduli terhadap perkembangan moral generasi penerus bangsa.

Selesai.

Mari kita buktikan bahwa kita BISA